Ada Saat Terpisah, Ada Saat Terhubung
Selama liburan Mami dapet banyak insight dari Koko Liel..
Si kokoh yang mulai beranjak ABG, bikin maminya kudu belajar lagi.
Dan memang perjalanan belajar jadi orangtua ga akan pernah berhenti ya.
Salah satunya aja, belajar untuk memisahkan emosi diri dari emosi anak..
Anak berhak bete, marah, sedih, kecewa atas hal- hal yang memang menurut dia membuat dia merasakan perasaan-perasaan itu.
Tapi gue sebagai maminya, saking sayangnya sama anak2, gue merasa harus selalu memastikan mereka happy.
Efeknya, perasaan gue sering terganggu ketika anak2 gue gak happy.
“Apa sih kamu? Masa begitu aja bete..”
“Masih banyak lho hal yang bisa bikin kamu happy.”
“Mami udah berusaha lho bikin kamu seneng..”
Tanpa gue sadari, gue sering menolak ketika mereka merasakan bete, ngambek, marah, sedih, kecewa tadi.
Seolah-olah mereka salah kalo bete, ngambek, sedih dan kecewa.
Pantang.
Padahal anak gue juga manusia, yang memang diberi anugerah untuk bisa merasakan aneka perasaan.
Dan semua perasaan itu baik jika dalam takaran yang tepat dan kita bisa menyadari maksud dan tujuan perasaan itu ada.
Tugas kita adalah mengenali dan menyadari setiap emosi dan perasaan yang muncul.
Menerimanya sebagai feedback perjalanan ke dalam diri kita.
Orang yang hebat bukan orang yang selalu bahagia, karena itu mustahil, tapi orang hebat karena dia mengenal dirinya di dalam dan mampu menjadi tuan atas dirinya.
Mampu mengelola pikiran dan perasaan, bukannya terbawa oleh pikiran dan perasaannya.
Untuk bisa mengelola pikiran dan perasaannya, seseorang perlu mampu bersahabat dengan segala bentuk pikiran dan perasaan yang muncul dalam dirinya.
Paham kenapa itu muncul, dan kemudian mampu memutuskan respon yang tepat.
Dan ini yang perlu gue ajarin ke anak-anak gue.
Bukan menolak, memendam, dan melawan, melainkan mengelola dan melepas.
Dengan begini baru mereka bisa mengakses bahagia.
Maka dari itu gue sadar gue perlu bisa memisahkan emosi gue dari emosi anak.
Ketika mereka marah, mereka yang marah, bukan gue.
Ketika mereka sedih, mereka yang sedang sedih, bukan gue.
Ketika mereka bete, mereka yang bete, bukan gue.
Dengan mampu memisahkan emosi gue dan emosi mereka, gue akan lebih mampu mendampingi mereka sebagai orang dewasa, sebagai orangtua, sebagai mentor.
Apa kabarnya kalo mereka marah, gue ikutan marah.
Mereka bete, gue ikutan bete.
Mereka sedih, gue malah kesel.
Boro-boro ngajarin mereka mengelola perasaan, perasaan gue aja masih berantakan berarti kalo begitu.
Karena segitu gampangnya gue terpengaruh. Sama anak kecil lagi..
Gue sadar masih perlu belajar banyak untuk tau kapan perlu memisahkan dan kapan memang saatnya terhubung.
Terhubung rasanya udah alami untuk seorang ayah dan ibu.
Tapi soal belajar terpisah, itu PR baru buat gue.
Ini soal keseimbangan dan melatih kesadaran.
Gue pengen anak2 tetap bisa leluasa berekspresi di depan gue dan Ary, sehingga kami tau kapan perlu mendampingi dan ngajarin mereka dan apa yang mereka sedang butuhkan.
Daripada mereka datar dan terlihat fine di depan kita, padahal ternyata mungkin di dalem mereka menyimpan banyak hal yang gak bisa mereka ungkapkan karena merasa itu salah dan takut membuat orangtuanya marah, sedih, kecewa.
Padahal orangtua harusnya lebih punya skill mengelola perasaan mereka sendiri kan.
Kenapa jadi bikin anak merasa bertanggung jawab atas perasaan orangtuanya.
Bertanggung jawab atas perasaan diri sendiri aja kita orang dewasa masih belepotan.
Ini anak kecil-kecil malah kudu mikirin perasaan orangtuanya.
Ini yang anak kecil siapa, yang orang dewasa siapa coba..
Pas sadar ini gue jd merasa malu dan merasa bersalah sama anak.
”Besok” selalu jadi penawar rasa bersalah gue, bahwa besok gue akan ingat untuk lebih belajar lagi, untuk bangun satu kali lebih banyak dari jatuhnya gue hari ini, untuk mengulang momen-momen kebersamaan dengan kesadaran yang berbeda.
Intinya..
Rumah, menurut gw adalah tempat di mana kita bisa leluasa menjadi diri kita dengan segala ekspresi tanpa merasa takut ditolak dan dihakimi, dan dengan kasih kita ditunjukkan jalan yang membahagiakan dan membebaskan.
Dan gue pengen gue dan Ary bisa selalu jadi rumah untuk Liel dan Adele.
Semangat kaka..
Belajar lagi.. belajar terus..
Ke dalam dan ke luar
Kenapa selalu kepikiran keluar di dalem abis itu ya.. wkwkwkwkwk..